Lahan Dikelola Optimal: Petani Sejahtera, TNBBS Lestari

ALTUMNEWS.com, LAMPUNG BARAT – Untuk mendorong pengelolaan penggunaan lahan yang berkelanjutan, Konsorsium Program Pelestarian Habitat Prioritas di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dengan mitra pelaksana WCS, WWF-Indonesia dan Yayasan Badak Indonesia (YABI) melakukan pendampingan di 10 desa yang berbatasan dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan optimalisasi lahan perkebunan di desa melalui Sekolah Lapang Kakao dan Kopi untuk petani di Kabupaten Lampung Barat.

Sekolah Lapang Kakao dan Kopi diadakan di 3 dari 10 desa dampingan program di Kabupaten Lampung Barat. Sekolah Lapang kopi diadakan di Desa Tebaliokh, Kecamatan Batu Brak yang didampingi oleh YABI. Sementara sekolah lapang kakao dilakukan di Desa Bumi Hantatai, Kecamatan Bandar Negeri Suoh dan Desa Sukamarga, Kecamatan Suoh, yang masing-masing didampingi oleh YABI dan WWF-Indonesia.

Livelihood Coordinator dari Program Pelestarian Habitat Prioritas di kawasan TNBBS, Sutarno, mengatakan Sekolah Lapang mengajarkan petani untuk dapat mengoptimalkan lahan perkebunan yang terbatas di kawasan tanah marga.

“Penghasilan petani kopi dan kakao dapat meningkat hingga dua hingga tiga kali lipat jika lahan dikelola dengan optimal,” ungkapnya.

Sekolah Lapang Kopi dimulai sejak bulan September dan akan berlangsung hingga 2020. Di Desa Bumi Hantatai Sekolah Lapang Kakao sudah berlangsung selama 6 minggu, sementara di Desa Sukamarga sudah berlangsung untuk fase kedua. Hingga saat ini, sudah terlihat perkembangan keterampilan dari petani yang terlibat di sekolah lapang.

Adapun tujuan utama dari Sekolah Lapang di tiga desa tersebu tadalah untuk mengurangi tekanan akibat perubahan hutan menjadi kebun di dalam kawasan TNBBS.

Lebih lanjut menurut Sutarno “Dengan memaksimalkan potensi lahan di tanah marga, harapannya petani dapat sejahtera tanpa perlu membuka hutan di dalam kawasan taman nasional maupun kawasan hutan lindung.”

BACA JUGA:  Dalam 5 Tahun Mampu Menampung 8000 Mahasiswa, Menhub Puji Peran Pemprov Lampung dalam Membesarkan Itera

Kopi Agroforestri untuk Kesejahteraan Petani

Sekolah Lapang Kopi di Desa Tebaliokh telah berlangsung selama delapan minggu dan akan berlangsung dalam durasi satu tahun hingga melewati satu kali masa panen kopi. Pada saat tim pendampingan berkunjung ke lokasi plot sekolah lapang (9/11), para petani sedang belajar cara pemangkasan ranting.

Samsi, salah satu petani kopi sekaligus peserta pelatihan yang kebunnya dijadikan plot sekolah lapang mengungkapkan bahwa banyak hal baru yang ia pelajari selama sekolah lapang.

“Ternyata selama ini cara kami mengelola kebun kopi kurang tepat. Kami belum berani untuk memangkas ranting, akibatnya daunnya banyak dan rantingnya panjang, tetapi buah kopinya malah kurang,” ujar Samsi.

Ahmad Erfan, pelatih Sekolah Lapang Kopi,memaparkan bahwa yang menjadi masalah utama kebun kopi di Lampung Barat, khususnya Desa Tebaliokh bukan paska panen, tetapi jumlah produksinya yang rendah. Saat ini produksi kopi di Tebaliokh hanya 600 kg/hektar.

“Peserta sekolah lapang sudah menilai produksi kebun kopinya masing-masing. Misalnya di lahan kopi seluas 20×20 meter yang menjadi plot, ternyata hanya 22 dari 100 batang kopi yang baik. Sementara untuk mencapai produksi buah kopi yang optimal diperlukan sekitar 16-18 cabang pada setiap batang tanaman kopi. Wajar jika jumlah produksi kebun masih rendah,” jelas Erfan.

Selain pemasukan dari kopi yang hanya panen setahun sekali, Erfan juga mendorong agar lahan ditanam dengan sistem agroforestri untuk memberikan pemasukan tambahan. Misalnya cabai dan pohon penaung yang dapat dimanfaatkan seperti alpukat, durian, sengon semendo, dadap, dan lamtoro.

“Tanaman cabai, durian, dan pohon lainnya dapat memberikan pemasukan selama masa paceklik, sehingga hasil produksi lahan optimal dan petani dapat lebih sejahtera,” ujar Erfan.

BACA JUGA:  Resmikan SPKLU Ultra Fast Charging Pertama di RI, Presiden Jokowi: Apresiasi Kesiapan PLN Dukung KTT G20

Hasil Produksi Kakao Unggul Dua Kali Lipat dari Kakao Lokal

Sugihartono, pengajar dalam program Sekolah Lapang Kakao di Sukamarga dan Bumi Hantatai menyatakan bahwa produksi kakao di Kecamatan Suoh masih belum maksimal.

Hal tersebutsenadadengan data yang ditampilkan Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung Barat. Jumlah produksi kebun kakao tahun 2018 di Kecamatan Suoh sebanyak 1,4 ton per tahun yang dihasilkandari 290.6 hektar kebun kakao yang produktif. Sementara masih terdapat 86,8 hektar kebun kakao yang belum menghasilkan.

“Di Desa Sukamarga 1 Hektar kebun kakao hanya menghasilkan 1-2 ton per tahun. Padahal dengan perawatan yang baik dan penggunaan bibit unggul, 1 hektar dapat menghasilkan dua kali lipatnya, yaitu sebanyak 3-4 ton per tahun,” ujar Sugihartono ketika ditemui di salah satu lokasi kebun peserta pelatihan Sekolah Lapang Kakao di Desa Sukamarga (10/11).

Ia menjelaskan bahwa ada nilai tambah yang cukup tinggi untuk biji kakao yang dijual dalam keadaan kering dan setelah difermentasi. Di Suoh, harga kakao basah asalan 16.000 per kg. Jika dijual kering, harganya 20.000 hingga 26.500. Sementara kalau kakao unggul yang sudah difermentasi, harganya meningkat menjadi 40.000 hingga 60.000 per kg.

“Selain perbaikan lontanaman kakao, di sekolah lapang petani juga belajar pengelolaan kebun yang baik dan menanam tanaman dengan sistem agroforestri seperti alpukat dan pisang diantara pohon kakao,” tutup Sugihartono.***

Editor : Robert