ALTUMNEWS.Com, BANDARLAMPUNG — Apakah Anda asing dengan “orang miskin “ dalam keseharian kehidupan Anda? Cobalah keluar dan lihatlah bahkan mungkin mereka adalah orang yang berada di dalam rumah Anda sendiri.
“Orang–orang miskin selalu ada bersama dan di antara kita. Siapa mereka? Bisa jadi mereka adalah satpam yang menjaga saat Anda tertidur nyenyak, tukang sampah yang memungut sampah makanan siap saji yang Anda nikmati saat malam hari. Atau mereka bisa jadi adalah pekerja rumah tangga Anda yang siap diperintah ini dan itu! Mereka adalah pemungut rongsokan dari barang-barang yang Anda buang karena anda telah membeli yang lebih baik.
Apa yang kita lakukan kepada mereka? Memberi mereka upah yang kerap tak sebanding dengan tenaga yang mereka berikan. Kita beri mereka upah yang tak cukup untuk memenuhi keluarga mereka sekadar makan ala kadarnya?
Sudahkah kita merasa cukup dengan apa yang kita buat sekadar sedikit meningkatkan martabat mereka sebagai sesama manusia?
Kita semua tahu bahwa dunia di tahun 2050 akan dilanda gawat darurat iklim (climat emergency) suhu memanas, udara tak lagi ramah dengan kehidupan manusia. Kekeringan akan terjadi dimana mana, akan banyak orang berdiam diri di ruang ber AC tentu hal ini hanya berlaku bagi sebagain orang yang sangat beruntung. Air menjadi sesuatu yang berharga mahal.
Sekali lagi siapa yang dapat membelinya hanya orang yang hidup berkelimpahan dari keberuntungan yang ia peroleh dari hasil bisnis besar yang barangkali justru berkait erat dengan terjadinya pemanasan global seperti pengerukan sumber daya alam, penebangan pohon tanpa mengindahkan akibat yang ditimbulkan. Hanya berpikir untuk keberlangsungan bisnis mengeruk untung sebesar-besarnya. Petani tak lagi bisa menggarap sepetak lahan karena kering kerontang.
Sampah! Ya sampah. Kalau kita jujur siapa penghasil sampah rumah tangga terbesar adalah orang kota dengan puluhan ribu ton sampah setiap hari dikumpulkan dan diangkut dan yang mengerjakan adalah orang–orang kurang beruntung yang harus berpacu dengan bau.
Sampah dari rumah tangga yang dikumpulkan menjadi tumpukan yang menggunung dibuang kemana? Jauh dari permukiman penduduk cluster terpandang tapi dekat dengan rumah kumuh warga miskin. Merekalah pertama yang dikepung oleh bau menyengat.
Dari tumpukan sampah terjadi proses kimia yang menghasilakan gas metana salah satu sumber pemanasan global yang akan menghantui kehidupan seluruh umat manusia. Dan yang menjadi korban pertama adalah orang-orang miskin yang tidak punya pilihan bahkan untuk menolong diri mereka sendiri.
Saya menyerukan kepada kita semua tanpa membedakan suku, ras, agama, bangsa untuk bersama melakukan tindakan nyata. Saat ini kita tidak punya pilihan waktu.
Bersama-sama sebagai kelompok masyarakat, institusi, lembaga apapun namanya kita harus mempelajari isu ini secara serius dan membuat langkah konkrit. Paling sederhana mengurangi beban tempat pembuangan sampah dengan seminim mungkin menggunakan bahan bahan sekali pakai, mengolah sampah organik yang ada di dapur rumah kita menjadi lebih bermanfaat seperti pembuatan Eco Enzyme yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan.
Di atas semua tentu yang paling penting adalah bagaimana kita dapat mendorong dan mengawal kebijakan pemerintah dalam hal skenario penanggulangan untuk mengatasi krisis iklim. Melalui kebijakan penanganan kebakaran hutan, deforestasi, restorasi hutan mangrove, pemanfaatan lahan-ruang hijau sebagai lahan-lahan pembangunan rumah mewah yang merusak lingkungan demi kepentingan segelintir orang kaya yang dapat membeli fasilitas dan berkolusi dengan pemerintah.
Takut, cemas dan gelisah tak memperbaiki keadaan apalagi bersikap acuh tak acuh adalah bentuk sikap tidak peduli yang sangat menyakiti semesta dan manusia yang terdampak langsung oleh krisis iklim ini. Yakni orang-orang miskin di sekitar Anda dan bahkan di dunia dan pada akhirnya saya, anda dan kita semua tanpa terkecuali.
Selamat memperingati Hari orang Miskin Sedunia.***
Editor : Robertus Bejo