Profil Eddy Aqdhiwijaya, Filantropis Milenial dan Ketua Yayasan Islam Cinta Indonesia

ALTUMNEWS.Com, JAKARTA — Nama Eddy Aqdhiwijaya kian menjadi perbincangan dikalangan pegiat filantropi, ia menggerakkan banyak milenial untuk terlibat aktif dalam kegiatan yang umumnya disebut aktivitas sosial kemanusiaan.

Melalui Yayasan Islam Cinta Indonesia atau Gerakan Islam Cinta (GIC) yang menjadi bagian dari Civil Society Organization (CSO) yang ia kembangkan, pasca dideklarasikan oleh 40 Tokoh Muslim Moderat Indonesia di Jakarta, menjadikannya generasi milenial yang passionate dalam bidang filantropi.

Di momen wawancara kami dengan Abang Eddy, sapaan akrab kepadanya. Ia mengungkap nasihat Cendekiawan Muslim Haidar Bagir “Kita sepakat bahwa menjadi Muslim itu harus menjadi pencinta. Pencinta makhluk-Nya Allah SWT. Salahsatunya filantropi. Filantropi dari kata ‘Philein’ (cinta) dan ‘Antrhopos’ (manusia), mencintai manusia. Kegiatan filantropi ini harus dilakukan oleh semua orang, termasuk oleh kalangan muda milenial,” ungkap Eddy.

Eddy lahir di Tangerang, pada 19 Maret 1990. Ia memiliki nama lengkap Eddy Najmuddin Aqdhiwijaya, telah menempuh pendidikan di bidang Social Sciences, Humanities, and Interdisciplinary Policy Studies in Education (SHIPS), ia gencar memberikan edukasi kepada generasi muda tentang filantropi. Menurut Eddy, dunia filantropi belum banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia, terutama di kalangan muda.

Citra filantropis, yang erat dengan tokoh-tokoh konglomerat sering membuat kita salah kaprah terhadap arti sebenarnya, memaknai filantropi sebatas kegiatan eksklusif yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang dengan sumber daya finansial yang besar.

Padahal, sederhananya dapat disebut sebagai tindakan kedermawanan. Sumber daya yang disumbangkan pun tidak hanya sebatas dana, tetapi juga bisa berupa waktu, tenaga, pikiran dan skill atau kemampuan kita.

Dalam kondisi krisis di masa pandemi, Eddy terlibat aktif dalam #SalingJaga hadapi Covid-19. Bahkan ia yang mengkoordinir gerakan #SalingJaga disejumlah daerah bersama para milenial lainnya dari GIC yang tersebar di wilayah Indonesia. Wabah Covid-19 telah menjadi bencana yang merugikan kesehatan, sosial dan ekonomi warga. Masyarakat miskin dan pekerja informal adalah salahsatu kelompok rentan yang sulit untuk menyambung hidup pada situasi seperti itu. Hal tersebut, yang menjadi alasan kepeduliannya di tengah krisis akibat pandemi Covid-19.

BACA JUGA:  Firman Al Amin, Juara Kuis Akademi Digital untuk Da'i Muda 2021, Dijuluki “Ustaz Digital”

Tidak hanya itu, ia juga gencar menyuarakan #WeStandforPalestinian #IslamCintaPalestina menurut Eddy, ada tiga hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk membantu Palestina: Pertama adalah #PesanCinta terus sebarkan pesan cinta kepada dunia. Suarakan keadilan dan perdamaian bagi semua. Kedua #KirimDoa sisipkan dalam doa kita, harapan terbaik korban-korban tak berdosa. Semoga perdamaian dan kemerdekaan bisa terwujud di tanah Palestina. Ketiga #GalangDana Sisihkan sebagian rezeki kita untuk membantu meringankan beban mereka. Salurkan melalui kitabisa.com dan Dompet Dhuafa.

Tidak hanya dua program di atas, Eddy juga aktif mempromosikan pesan kemanusiaan melalui nilai-nilai literasi, cinta, damai dan welas asih agama Islam kepada masyarakat luas. Sejumlah program literasi terus dilaksanakan, ia memimpin redaksi sejumlah penerbitan buku-buku populer di Gerakan Islam Cinta (GIC) dengan melibatkan para penulis milenial seperti Husein Ja’far Al Hadar, Kalis Mardiasih, Zulfan Taufik, Azam Bahtiar dan masih banyak lagi yang lainnya. Buku “Apalagi Islam itu Kalau Bukan Cinta?” Menjadi buku perdana Husein Ja’far Al Hadar yang dikoordinir Eddy. Saat ini, sudah lebih dari 50 buku yang dimiliki oleh GIC sejak tahun 2015 sampai dengan tahun ini, 2024.

Dalam postingan terbaru di akun instagram pribadinya @eddyaqdhiwijaya ia mengungkap keresahannya terhadap minat membaca di Indonesia. Eddy mengatakan “Aktifitas membaca di lakukan untuk menghabiskan waktu (to kill time), bukan untuk mengisi waktu (to full time) dengan sengaja. Artinya aktifitas membaca belum menjadi kebiasaan tapi lebih kepada kegiatan ’iseng’ saja. Aktifitas membaca pun belum menjadi prioritas yang masuk dalam to do list harian disertai dengan target baca”. Tegas Eddy.

Lantas Eddy juga menjelaskan bahwa tingkat literasi memiliki hubungan vertikal terhadap kualitas bangsa kita. Tolak ukur kemajuan serta peradaban suatu bangsa adalah budaya membaca yang telah mengakar pada masyarakatnya. UNESCO menyatakan dari 1000 orang penduduk Indonesia, ternyata hanya satu orang yang memiliki minat baca. Indeksi minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Masyarakat Indonesia rata-rata membaca 0-1 buku setiap tahun. Berbeda dengan warga negara Amerika Serikat yang terbiasa membaca 10-20 buku setahun, sedangkan warga Jepang 10-15 buku setahun. “Ini merupakan sebuah tragedi. Hal ini mengkonfirmasi bahwa literasi masih termarjinalkan pada lanskap ekonomi dan politik negara kita,” jelas Eddy.

BACA JUGA:  Trafik Data XL Axiata Naik 37% Selama Masa Libur Lebaran 2023

Dengan dukungan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta dan UNDP Indonesia, Eddy bersama tim GIC berkeliling ke lebih dari 15 kota yang secara umum bertujuan untuk menyebarkan pengetahuan agama moderat dan mendorong generasi muda untuk memiliki pemikiran kritis dan terbuka, mendukung pertemuan, interaksi antaragama dan mempromosikan visi yang terbuka, inklusif, moderat, egaliter, toleran di kalangan muda, meningkatkan keadaran public tentang keragaman dan ancaman ektremisme dan radikalisme, serta pentingnya merangkul dan melestarikan keanekaragaman, mengumpulkan kaum muda dan mendukung mereka sebagai agen perdamaian melalui Gen Islam Cinta (Gen IC) Reading Club.

Dalam mengembangkan misi filantropinya, Eddy seringkali menggunakan ‘soft approach’ melalui program-program yang bersifat prefentif, adaptif, edukatif dan dikemas dengan cara-cara kreatif. Selain itu, Eddy juga selalu terpaut dengan pemberdayaan ekosistem Masjid. Sejak 2021 ia pro-aktif menjalankan dan mengembangkan konsep #MasjidKitaMasjidRamah bersama Kementerian Agama (Kemenag) Pusat, yang meliputi; Masjid Ramah Lingkungan, Masjid Ramah Anak dan Perempuan, Masjid Ramah Dhuafa dan Musafir, Masjid Ramah Lansia dan Difabel, Masjid Ramah Keberagaman. Dengan dukungan Kemenag Pusat, Eddy telah melatih ratusan Takmir Masjid dari Masjid-Masjid yang tersebar di wilayah Indonesia dalam pelatihan Masjid Profesional, Moderat dan Berdaya (MPMB).

Disisi lain, Eddy melihat bahwa berkembangnya akses serta layanan internet di Indonesia membuka banyak kesempatan ekonomi, menggerakan inovasi, dan mendorong individu untuk dapat belajar tanpa batas. Namun, perkembangan ini bukan tanpa masalah. Meningkatnya konektivitas dunia digital semakin memperburuk permasalahan ekstremisme kekerasan. Kondisi ini diperkuat dengan temuan PPIM UIN Jakarta yang mencatat 67,2% isu mengenai konservatisme menguasai perbincangan di dunia maya selama satu dekade terakhir. Dan pada saat yang sama, ia juga berpandangan bahwa Da’i Muda yang seharusnya menjadi aktor berpengaruh dalam diseminasi pesan kemanusiaan dan keagamaan moderat nyatanya masih terkendala dengan berbagai kemampuan teknis ketika dihadapkan dengan media digital. Kemampuan seperti digital storytelling, personal branding, social media management, data analysis, dan copywriting menjadi tantangan tersendiri. Padahal kemampuan teknis tersebut penting untuk mempengaruhi narasi di media digital. Meskipun begitu, tidak banyak platform pengembangan diri yang tersedia untuk membantu Da’i Muda untuk menguasai kemampuan tersebut.

BACA JUGA:  PT KAI perpanjang Pembatan Pengoprasian KA Limex Sriwijaya hingga 31 Oktober 2021

Maka untuk menjawab hal itu, Eddy bersama tim GIC dan atas dukungan Kyai Perdamaian Irfan Amali, Mudir PeaceSantren Welas Asih di Jawa Barat dan dukungan sahabatnya Zulfan Taufik yang menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik di Fakultas Ushuluddin, Dakwah dan Adab UIN Bukittinggi, sejak tahun 2021 menyelenggarakan Akademi Digital untuk Da’i Muda (ADDeM). Program ADDeM banyak diikuti oleh para Da’i Muda dari banyak wilayah tanah air, diantaranya; Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Jakarta, Jawa Timur, Yogyakarta, Banten, Jawa Barat, Aceh, dan lain sebagainya. Dan ditahun ini, program ADDEM bertemakan “Green Deen: #IslamCintaLingkungan”, Green Deen atau yang berarti ‘Agama Hijau’ merupakan refleksi dan gerakan para Da’i Muda mengenai nilai-nilai ajaran Islam terhadap pelestarian lingkungan hidup dan alam semesta.***