Oleh: Clara Dewanti, Tenaga Pengajar di Bandarlampung
ALTUMNEWS.Com, BANDARLAMPUNG — Lembaga pendidikan pada dasarnya adalah rumah peradaban, tempat di mana karakter ditempa, ilmu disemai, dan masa depan generasi muda dipersiapkan. Pendidikan adalah sebuah bentuk pelayanan publik yang seharusnya dijalankan dengan hati penuh dedikasi, tanpa pamrih, dan selalu berorientasi pada kepentingan terbaik peserta didik.
Ki Hajar Dewantara pernah menegaskan: “Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka dapat hidup sebagai manusia dan anggota masyarakat yang merdeka.” Pernyataan ini menekankan bahwa inti dari pendidikan adalah pembebasan dan kemerdekaan.
Namun, di era kompetitif seperti sekarang, wajah lembaga pendidikan mulai mengalami pergeseran orientasi menuju pasar. Istilah “pendidikan berkualitas” kini sering diasosiasikan dengan biaya tinggi, fasilitas mewah, serta janji karier gemilang. Ini menandakan munculnya wajah lain dalam dunia pendidikan yakni jargon bisnis “sosial”, yang di satu sisi tampak menjanjikan karena menggabungkan misi sosial dengan mekanisme pasar.
Konsep ini memang terdengar positif karena mencerminkan lembaga pendidikan yang dikelola secara profesional dan efisien, serta memiliki keberlangsungan finansial layaknya sebuah entitas bisnis. Tujuannya tentu agar kualitas layanan pendidikan tidak semata-mata bergantung pada subsidi.
Namun, di sisi lain, batas antara “keberlangsungan finansial” dan “pencarian keuntungan maksimal” kerap kali menjadi kabur. Slogan-slogan seperti “Tiket Prioritas Menuju Puncak Karier Global” atau “Pendidikan Berstandar Internasional dengan Kurikulum Premium” mulai menjamur layaknya iklan produk, tanpa menyentuh esensi ajakan untuk belajar.
Ketika orientasi lembaga pendidikan bergeser ke arah komoditas, nilai-nilai luhur seperti humanitas, kesabaran guru, empati, solidaritas, kejujuran, dan semangat pelayanan yang semestinya melahirkan karakter dan kecerdasan terancam tergantikan oleh indikator bisnis semata: jumlah siswa premium, tingkat laba, dan eksklusivitas branding sekolah.
Tentu saja, tulisan ini bukan bentuk penolakan terhadap modernisasi. Pengelolaan sekolah secara profesional justru penting agar dapat terus eksis dan berkembang di tengah tantangan zaman. Yang menjadi soal adalah bagaimana menemukan titik keseimbangan yang sehat antara spiritualitas pelayanan sebagai panggilan luhur, dengan penerapan strategi bisnis sebagai langkah keberlangsungan lembaga. Keduanya berbeda, namun tidak harus dipertentangkan justru bisa saling melengkapi bila diletakkan pada porsi yang tepat.
Dengan demikian, pendidikan tetap setia pada misi utamanya: memanusiakan manusia, sekaligus tangguh menghadapi realitas persaingan dan tuntutan modernitas.
Saat ini, semakin banyak lembaga pendidikan yang mengadopsi prinsip profesionalisme bisnis, baik dalam hal efisiensi administrasi, pengelolaan keuangan yang tertib, transparansi tata kelola, hingga pengembangan inovasi melalui unit-unit usaha. Hal ini tidak bisa dinilai secara hitam-putih, benar atau salah. Yang lebih penting adalah bagaimana prinsip profesionalisme itu dijalankan tanpa mengabaikan akar spiritualitas pelayanan. Sebab, akan sia-sia jika tata kelola menjadi rapi namun kehilangan roh kemanusiaan.
Profesionalisme sejati hanya akan bermartabat jika dijalankan dengan hati, dan berorientasi pada manusia, bukan sekadar angka atau target. Tanpa hati, profesionalisme mudah tergelincir menjadi komersialisasi. Sebaliknya, hati tanpa profesionalisme berisiko kehilangan arah dan keberlanjutan. Maka, keduanya harus berjalan beriringan: hati menjadi jiwa yang menghidupkan, profesionalisme menjadi struktur yang meneguhkan.
Dalam kerangka ini, isu kesejahteraan guru dan karyawan tidak boleh diabaikan. Kesejahteraan harus dipahami secara menyeluruh: mencakup aspek finansial, status kepegawaian, jenjang karier, lingkungan kerja yang kondusif, aspek psikologis, sosial, spiritual, serta nilai-nilai kemanusiaan.
Pelayanan “dengan hati” mustahil terwujud tanpa guru dan karyawan yang hidup layak, dihormati, dan dimanusiakan. Menempatkan mereka hanya sebagai “pekerja” yang dituntut memenuhi target layanan, tanpa memperhatikan kesejahteraannya, justru menjadi ironi dalam dunia pendidikan.
Karena itu, keberlangsungan lembaga pendidikan hanya akan kokoh jika mampu menjaga keseimbangan: profesionalisme yang tangguh, hati yang tulus dalam pelayanan, serta kesejahteraan guru dan karyawan yang manusiawi.
Kini saatnya bagi setiap pemangku kepentingan pengurus yayasan, kepala sekolah, guru, karyawan, hingga orang tua—merenungkan:
Apakah lembaga pendidikan kita benar-benar sedang melayani dengan hati?
Atau, jangan-jangan, konsep “melayani dengan hati” kini hanya menjadi jargon pemasaran yang manis, untuk menutupi harga jual yang tinggi, layaknya sebuah produk yang dikemas dengan nama “pendidikan”?
Integritas dan moralitas kita sebagai warga bangsa sedang dipertaruhkan.***