ALTUMNEWS.Com, JAKARTA — Dunia literasi kembali menjadi perbincangan publik milenial dan gen z menjelang Hari Santri Nasional yang akan diperingati pada tanggal 22 Oktober 2025.
Filantropis Eddy Aqdhiwijaya yang juga penggagas program Literasi Cinta sejak tahun 2018 melalui Yayasan Islam Cinta Indonesia atau Gerakan Islam Cinta (GIC) turut merekomendasikan tiga buku yang perlu di baca oleh kalangan muda, diantaranya:
1. Buku Islam itu Ramah bukan Marah
Buku “Islam itu Ramah Bukan Marah” karya Irfan Amalee sangat dianjurkan untuk dibaca, terutama di tengah kondisi saat ini di mana citra Islam seringkali disalahpahami. Buku ini menyajikan sudut pandang yang menyegarkan dan penting mengenai Islam sebagai agama yang membawa kedamaian, bukan kekerasan. Beberapa alasan mengapa para milenial dan gen z perlu membaca buku ini, pertama, mengembalikan citra Islam yang sesungguhnya.
Buku ini hadir sebagai jawaban atas anggapan bahwa Islam identik dengan kekerasan, kebodohan, dan teror. Penulis menekankan bahwa Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw dan para ulama, termasuk Wali Songo di Nusantara, adalah agama yang menyebarkan kedamaian, cinta, dan kasih sayang.
Membaca buku ini dapat membantu milenial dan gen z memahami dan menginternalisasi ajaran Islam yang sebenarnya, yang jauh dari kesan-kesan negatif tersebut.
Kemudian yang kedua, membangun karakter mulia. Irfan Amalee mengajak pembaca untuk merenung dan memperbaiki diri. Buku ini dibagi menjadi dua bagian: “All About Peace” dan “Character Building”. Di dalamnya, para milenial dan gen z akan menemukan pembahasan tentang pentingnya sikap ramah, toleransi, dan akhlak mulia dalam berinteraksi dengan sesama, baik sesama muslim maupun non-muslim. Penulis mengingatkan bahwa penyebaran Islam tidak dilakukan dengan paksaan atau peperangan, melainkan dengan tingkah laku terpuji dan akhlak yang luhur.
Selanjutnya adalah meluruskan Kesalahpahaman. Salah satu manfaat penting dari buku ini adalah meluruskan beberapa miskonsepsi yang sering terjadi, seperti makna sebenarnya dari jihad, konsep kafir dan musyrik, serta konsep toleransi dalam Islam. Penulis berargumen bahwa aksi terorisme dan kekerasan yang mengatasnamakan agama berakar dari pemahaman yang radikal dan keras, bukan dari ajaran Islam itu sendiri.
Buku ini mengundang pembaca untuk menjadi “tipe jembatan” yang menyebarkan kedamaian, bukan “tipe kompor” yang mudah menyulut permusuhan. Secara keseluruhan, buku “Islam itu Ramah Bukan Marah” adalah bacaan yang relevan dan mencerahkan. Buku ini tidak hanya cocok untuk umat Muslim yang ingin memperdalam pemahaman agama, tetapi juga bagi siapa pun yang ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam sebagai agama yang penuh rahmat dan kedamaian.
2. Buku #MO: Sebuah Dunia Baru yang Membuat Banyak Orang Gagal Paham
Membaca buku #MO: Sebuah Dunia Baru yang Membuat Banyak Orang Gagal Paham karya Prof. Rhenald Kasali sangat dianjurkan, terutama bagi milenial dan gen z yang ingin memahami perubahan di era digital saat ini. Buku ini merupakan bagian dari seri “Disruption” yang ditulis oleh Rhenald Kasali, seorang ahli dan praktisi manajemen bisnis terkemuka di Indonesia. Beberapa alasan mengapa kalangan milenial dan gen z perlu membaca buku ini, pertama, untuk memahami konsep mobilisasi dan orkestra. Buku ini menjelaskan era baru yang disebut “#MO”, singkatan dari Mobilisasi dan Orkestrasi. Ini adalah fenomena di mana teknologi dan media sosial memungkinkan pergerakan massa (mobilisasi) dan pengaturan sumber daya secara terkoordinasi (orkestrasi) dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini berlaku tidak hanya dalam bisnis, tetapi juga dalam kehidupan sosial dan politik.
Kedua, membuka wawasan tentang “New Power” vs “Old Power”. Prof. Rhenald Kasali membedakan antara “kekuatan lama” (Old Power) dan “kekuatan baru” (New Power). Old Power adalah kekuatan yang mengandalkan aset fisik dan hierarki tradisional, sedangkan New Power muncul dari kemampuan memobilisasi dan mengorkestrasi aset-aset tak berwujud (intangible assets) seperti data, jaringan, dan brand image. Buku ini menjelaskan mengapa banyak bisnis lama gagal paham dan kesulitan menghadapi disrupsi yang dibawa oleh New Power, seperti yang dilakukan oleh Airbnb dan Red Doorz yang mengorkestrasi properti orang lain tanpa harus memiliki tanah dan bangunan.
Kemudian yang ketiga, belajar dari kasus-kasus aktual. Salah satu keunggulan buku ini adalah pembahasan yang didukung oleh kasus-kasus nyata dan terkini. Penulis menyajikan contoh-contoh yang relevan, mulai dari bagaimana Alibaba menghasilkan miliaran dolar dalam waktu singkat saat Singles’ Day, hingga bagaimana sebuah tagar di media sosial bisa menggerakkan massa dan bahkan mengubah persepsi publik. Ini membuat teori-teori yang kompleks menjadi lebih mudah dipahami dan relevan.
Dan yang keempat, menghadapi ancaman disrupsi. Buku ini memberikan “Dashboard Ancaman Disrupsi” yang bisa menjadi pedoman bagi para pebisnis untuk memonitor indikator-indikator yang mengancam model bisnis mereka. Dengan memahami era #MO, pembaca dapat mengantisipasi perubahan dan merancang strategi yang relevan untuk tetap kompetitif.
Secara keseluruhan, #MO adalah buku yang mencerahkan dan esensial bagi siapa pun yang ingin memahami dinamika bisnis, sosial, dan politik di era digital. Buku ini tidak hanya menawarkan wawasan teoretis, tetapi juga memberikan pemahaman praktis yang diperlukan untuk beradaptasi dan berhasil di dunia yang terus berubah.
3. Buku Agama dan Imajinasi: Menjelajahi Kedalaman dan Kelapangan Spiritual Islam
Membaca buku “Agama dan Imajinasi: Menjelajahi Kedalaman dan Kelapangan Spiritual Islam” karya Haidar Bagir sangat penting karena menawarkan sudut pandang yang segar dan mendalam tentang bagaimana kita seharusnya beragama. Buku ini mengajak pembaca untuk keluar dari pemahaman agama yang kaku dan dogmatis, dan sebaliknya, merangkul dimensi spiritual dan imajinatif. Beberapa alasan utama mengapa milenial dan gen z perlu membaca buku ini, pertama, memperluas makna beragama. Selama ini, agama seringkali hanya dipandang sebagai seperangkat aturan, hukum, dan ritual. Haidar Bagir menantang pandangan ini dengan menunjukkan bahwa agama dan spiritualitas juga membutuhkan imajinasi dan perenungan. Imajinasi di sini bukan berarti khayalan kosong, melainkan “kemampuan pikiran untuk membentuk gambaran, ide, atau representasi tanpa kehadiran objek secara konkret.” Dengan imajinasi, kita bisa memahami makna yang lebih dalam di balik setiap ibadah, melihat keindahan spiritual, dan merasakan kehadiran Tuhan secara lebih personal.
Kedua, menciptakan keberagamaan yang lebih lapang dan mendalam
buku ini membantu kalangan muda melihat agama dengan cara yang lebih luas dan fleksibel. Haidar Bagir berargumen bahwa dengan imajinasi, kita dapat mencapai pemahaman yang lebih lapang, sehingga kita tidak mudah terjebak dalam fanatisme atau sikap intoleran. Ia mendorong kita untuk berani bertanya, mencari makna, dan melihat perbedaan dengan empati. Ini sangat relevan di tengah masyarakat yang rentan terhadap konflik akibat perbedaan keyakinan.
Dan yang ketiga, menerapkan konsep filosofis kedalam praktik sehari-hari. Buku ini terbagi menjadi dua bagian besar: pembahasan filosofis dan penerapannya dalam kehidupan praktis. Milenial dan gen z akan belajar bagaimana mengaplikasikan konsep-konsep ini dalam berbagai aspek, mulai dari cara menafsirkan teks suci, menjalankan ibadah secara lebih bermakna, hingga membangun hubungan sosial yang harmonis dengan orang lain. Ini menjadikan buku ini tidak hanya sebagai bacaan akademis, tetapi juga panduan praktis untuk meningkatkan kualitas spiritual kalangan muda.
Secara keseluruhan, “Agama dan Imajinasi” adalah sebuah karya yang mencerahkan. Buku ini adalah undangan untuk melihat agama tidak hanya dengan mata lahiriah, tetapi juga dengan mata batin, sehingga keberagamaan kita menjadi lebih hidup, lebih damai, dan lebih penuh makna.
Demikian tiga buku yang direkomendasikan untuk dibaca milenial dan gen z menjelang Hari Santri Nasional tahun 2025.***





